Selasa, 07 Juli 2009

Pembiayaan Pendidikan yang jujur


Wacana Pendidikan gratis yang yang dikumandangkan oleh Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo serta meningkatnya anggaran dana operasional sekolah (BOS) bagaikan angin segar bagi masyarakat pengenyam pendidikan. Apalagi seiring dengan naiknya anggaran BOS dan BOMM tersebut, pemerintah dalam hal ini Menteri Pendidikan Nasional, meminta kepada pimpinan sekolah negeri untuk tidak memungut biaya sepersen pun kepada siswa.
Pemerintah memang sudah komitmen melakukan berbagai maneuver politik untuk kepentingan pendidikan. Dan untuk hal tersebut, penulis sangat menghargai jerih payah dan pengorbanan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk kepentingan anak bangsa. Tapi, apakah oknum yang menjadi kaki tangan pemerintah sekaligus penyalur dan pendistribusian dana BOS dan BOMM tersebut, dapat dipercaya dan amanah dalam melakukan pekerjaannya?
Pembaca yang budiman, dana BOS dan BOMM serta dana sampingan yang diberikan oleh PEMKOT dan PEMKAB setempat, merupakan bantuan pemerintah untuk memfasilitasi proses pembelajaran di sekolah negeri dan swasta sudah pasti merupakan anugerah yang tak ternilai bagi masyarakat pengenyam pendidikan jika memang dikelola secara adil, jujur dan profesional oleh pihak sekolah. Tapi jika tidak, dimana rasa kemanusiaan, keadilan dan pertanggungjawaban para oknum tadi setelah mengambil hak yang seharusnya adalah milik rakyat? Apalagi porsi dan pengalokasian dana tersebut betul-betul riil dan jelas tertera dalam peraturan pemerintah bahwa seorang anak SMP misalnya, mendapat dana BOS sebesar RP 575.000 per tahun tidak kurang dan tidak lebih. Tapi jika ada kegiatan “sunatan masal” dana BOS dan BOMM serta dana sampingan tadi, berarti anak-anak tersebut tidak mendapatkan haknya secara utuh bukan? Buku pegangan yang seharusnya didapatkan anak secara gratis, berganti arah menjadi keharusan membeli buku satu paket yang harganya sungguh “luar biasa” hasil kerjasama sekolah, guru dengan pihak penerbit. Jika sudah demikian, mau tidak mau orang tua si anak harus merogoh koceknya lagi serta bekerja keras untuk membelikan buku buat sang buah hati tercinta. Lantas dikemanakan dana yang seharusnya dipergunakan untuk memfasilitasi siswa dalam belajar? Apakah pemerintah hanya tinggal diam dan tidak melakukan pemberian sangsi berat kepada pihak-pihak “penyunat” tersebut untuk dapat diperkarakan layaknya para koruptor kelas kakap, penghuni Lapas cipinang atau rutan Salemba? Penulis yakin, jika sangsi ditegakkan maka koruptor terselubung tidak akan berani menyelewengkan dana-dana yang bukan haknya. Dan yang pasti, anggaran pendidikan dapat digunakan semaksimal dan seoptimal mungkin berazaskan keadilan dan kejujuran.
Pembaca yang budiman, Anggaran pendidikan di Indonesia memang terbatas, hanya berkisar 20% dari dana APBD di masing-masing kota / kabupaten setempat, itu pun sudah termasuk gaji guru yang berjuang untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Berarti pembiayaan pendidikan hanya merupakan sisa rupiah untuk membiayai operasional pendidikan setelah dikurangi gaji guru yang ada di masing-masing daerah. Jika sudah demikian, apakah pemerintah masih mau meningkatkan anggaran untuk pendidikan agar setara dengan anggaran pendidikan negeri tetangga? Dan setelah pemerintah menaikkan anggaran pendidikan tersebut, apakah pendidik dan tenaga kependidikan akan memperbaiki kinerja mereka, menciptakan daya saing dan terus memacu diri untuk bersama meningkatkan mutu pendidikan yang ada di Indonesia? Insya Allah!